Sajak Dalam Seperempat Abad: Sekolah



(Koran Serambi Ummah Tahun 2005)


Sekolah & Aku

Sekolah Dasar

Mengingat hal ini lucu juga;

Ketika aku kecil sudah bisa membaca
Tak ingin bersekolah di TK lama-lama
Segera SD saja kalau bisa
(Eh, saat dewasa
Kau tahu, aku menjadi guru Es Em Ka dan Te Ka)
Aku pun duduk di kelas satu dengan bangga
Umur empat tahun lebih sudah berseragam SD rupanya
Kok bisa?
Haha, karena ayahku kepala sekolahnya
Tapi kemudian, aku duduk di kelas satu untuk dua tahun lamanya
Sebab umurku masih terlalu muda

Saat itu, aku pindah sekolah ketika naik ke kelas lima
Karena sering dikejar anjing tiap pulang sekolah pakai sepeda
Padahal pedal sepeda sudah kukayuh sekencang-kencangnya
Tapi apalah daya jika putus rantainya
Akhirnya, rok merahku digigit anjing di ujungnya
Biarlah sekolah di dekat rumah saja
Asal tidak dikejar anjing setiap harinya
Itulah kenapa sampai saat ini aku masih phobia
Melihat anjing menyalak, lemas lututku jadinya

Sepulang sekolah aku menjual kue khas Jawa
Gethuk lindri itu namanya
Dengan taburan kelapa parut di atasnya
Asli dibikin oleh ayah dari ketela
Soal rasa, tentu saja juara
Karena tak ada duanya
Keliling-keliling desa aku membawa
Dengan harga dua ratus lima puluh rupiah per potongnya
Takut-takut aku pulang ke rumah suatu ketika
Sebab kue-kue habis terjatuh saat dibawa
Melintasi jembatan kayu dengan nampan di atas kepala
Kata ayah,” Iya, tidak apa-apa.”

(Tumbang Samba, Mei 2017)



Sekolah Menengah Pertama

Saat itu hanya suka cita yang dirasa
Selepas lulus SD, kedua orangtua mengantarkanku sekolah ke provinsi tetangga
Itu atas permintaanku dan didukung oleh kedua orangtua
Menuntut ilmu agama di sebuah Pondok Pesantren di Martapura
Untuk menuju ke sana harus melewati jalan yang sangat banyak kendala
Sudah begitu, perlu waktu satu hari lamanya untuk sampai di tujuan sana

Setelah hampir sepekan lamanya barulah terasa
Menjalani hari-hari dengan suasana yang jauh berbeda
Tak ada rumah, orangtua dan juga saudara
Rindu rasanya ingin segera berjumpa
Namun apalah daya, hanya bisa menangis sesenggukkan di bawah bantal sambil menatap foto dalam pigura
Ah, aku tak boleh lemah, bukankah ini sudah menjadi cita-cita?

Selama di asrama aku jarang mendapat kunjungan dari orangtua
Selain untuk menghemat biaya, itu juga karena jauh jaraknya
Tak seperti teman yang lainnya, pada jadwal kunjungan, orangtua mereka datang dan disambut dengan gembira
Sementara aku hanya bisa menatap dengan sedih dari balik jendela
Untuk mengobati kerinduan, aku antre di wartel pondok berjam-jam lamanya dengan rela
Sekadar mengabarkan keadaan, kemudian meminta kiriman bulanan, namun tak dapat berbicara lama-lama
Sebab antrean selanjutnya sudah menggedor-gedor pintu wartelnya

Sebelum adanya telpon yang terpasang di rumahku sana
Hanya dengan surat yang dititipkan lewat supir travel yang menjadi media
Mengabarkan keadaan dan uang bulanan yang hendak tiada
Ya, semacam cerita Alif dalam film Negeri Lima Menara
Pernah suatu ketika, kabarku dimuat di koran lokal yang cukup ternama
Supir travel kemudian membawanya ke desa
Terkejut-kejut ibuku mendengarnya
Dikiranya aku kecelakaan atau ada musibah yang menimpa
Ternyata, tentang sebuah acara dan aku sebagai MC-nya dengan menggunakan tiga bahasa
Bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia
Ssstt... kau tahu, itu ada teksnya... hahaha...

(Tumbang Samba, Mei 2017)


Sekolah Menengah Atas

Ini tentang masa-masa remaja yang penuh warna
Berjuang untuk menggapai asa dan segala cita-cita
Ikut organisasi English Club hingga Palang Merah Remaja

Suatu ketika saat mengikuti sebuah lomba
Berkemah di alam terbuka dan mendirikan tenda-tenda
Aku dan teman berjuang semampunya
Membuat tandu kemudian mengikat tali-talinya
Namun apalah daya, kami tak dapat juara
Tapi pengalaman itu yang lebih utama
Walau dalam lomba aku hanya menjadi pasiennya
Sebab saat itu badanku terbilang kecil saja
Tapi dua kali kepengurusan Palang Merah Remaja, aku yang menjadi ketua
Hahaha...

English Club juga sebagai salah satu sarana
Sarana aku untuk mengasah kemampuan berbahasa
Walau tak menjadi Best Speaker setiap kalinya
English Club dibimbing langsung oleh Mister yang baik hati dan jenaka
Diberinya kami cinderamata berupa gantungan kunci Menara Kembar dari Malaysia
Atau cokelat putih yang enak rasanya
Hi Mister, apa kabarnya?

Menjelang kelas akhir SMA
Kami dihadapkan dengan Ujian Nasional, kelulusan yang ditentukan standar nilainya
Segala usaha dan doa sudah terlaksana
Dan alhamdulillah akhirnya lulus juga, dengan nilai yang pas-pasan saja
Saatnya melanjutkan pendidikan berikutnya

Kemudian aku pun menjadi dilema
Kuliah di jurusan apa dan di mana
Berbagai beasiswa sudah dicoba
Qadarullah, belum satupun yang diterima
Akhirnya aku mengikuti SBMPTN, Pendidikan Kimia pilihan pertama dan Pendidikan Fisika pilihan kedua
Dan ternyata aku berjodoh dengan pilihan kedua
Oh Fisika, bismillah kujalani saja

(Tumbang Samba, Mei 2017)

Sajak Dalam Seperempat Abad: Sahabat





Sahabat & Aku

Merindu

Sering kali aku merindukan suasana
Saat-saat tilawah bersama, merengkuh ilmu dengan suka cita, berpelukan mesra ketika jumpa
Kemudian di sana, di tempatku berada
Bersama-sama aku mencoba membuat hal yang serupa
Agar yang sepertimu berdiaspora di mana saja
Seseorang yang bersahaja, santun terhadap sesama, lisan yang terjaga
Dan terasa kebermanfaatannya
Namun, kau tak akan pernah kulupa

Kesibukan kita seakan membunuh sapa, rasa, dan rencana
Sapa yang tak lagi seperti dahulu kala
Di mana ada kata, canda, tawa, dan nasihat tanda cinta
Rasa yang tak selekat ketika kita masih sering bertatap muka
Rencana bersua yang hanya sekadar menjadi wacana
Namun, bisikmu pelan
Kau selalu ada dalam doa-doa
Kemudian bulir-bulir hangat pun terasa keluar dari mata
Maafkan aku atas seburuk prasangka

Fantasyiruu fil ardh, begitulah firman Sang Pencipta
Kita bertebaran di muka bumi ini untuk memberikan apa yang kita punya
Bermanfaat untuk sesama, sebagaimana yang pernah kita tekadkan di suatu masa
Kemudian aku tersadar bahwa kita punya tugas tidak di tempat yang sama
Namun, di manapun tempatnya
Tumbuhlah kita dengan akar yang menghunjam kuat ke dalam tanah
Dahan yang menjulang tinggi dengan dedaunan yang lebat
Siapa saja nyaman berteduh di bawahnya seraya menikmati begitu manis buahnya

Tentu saja, ada kalanya angin menghalau kencang bahkan terlampau kencang
Daun berguguran, dahan dahannya patah, bahkan akar tercabut dari tempatnya
Iya, ternyata ia rapuh
Sebagaimana imannya yang terseok-seok jatuh, tapi bersyukur tak sampai lumpuh
Demikianlah adanya iman
Bertambah karena ketaatan, berkurang karena kemaksiatan
Maka, nasihatilah aku, kawan!
Ingatkan aku agar selalu berada di jalan Nya
Menjadikan Allah sebagai pengharapan
Hidup dalam kemuliaan
Syahid yang dicita-citakan
Seperti nasyid yang dahulu sering kita gelorakan
Walau sekarang kita tak lagi bersisian
Namun, hati hati kita saling bertautan

Maafkan atas ucapan dan perbuatanku yang tak terjaga dan itu membuatmu luka
Dan terima kasih atas segala doa-doa
Semoga kita sehidup dan sesurga

Terima kasih ya Allah, Engkau telah mempertemukan aku dengannya

(Tumbang Samba, 2017)

Sajak Dalam Seperempat Abad: Saudara





Saudara & Aku

Masa Kecil yang Bahagia

Adalah kami berenam saudara
Empat perempuan dan laki-laki berdua
Sejak kecil terpisah-pisah hidupnya
Menuntut ilmu di desa tetangga, ke kota bahkan lintas negara
Beginilah ceritanya

Sebagai kakak pertama, perempuan yang sudah dewasa
Seringkali ia sisihkan uang yang ia terima dari beasiswa
Untuk membelikan adik-adik kecil perempuannya bertiga
Baju yang sama agar dipakai saat Hari Raya
Ia juga memotong rambut kami yang sudah tidak karuan modelnya
Mengingatkan kami untuk memperhatikan kebersihan telinga
Maklumlah saat masih kecil suka main di tanah, terkena debu dan belum mengenal gaya
Walaupun kini ia sudah berkeluarga
Ia senantiasa mengingatkan kami agar tidak jauh dari agama
Terus berusaha dan juga berdoa
Berbuat kebaikan apa yang bisa, dan memberi manfaat kepada sesama
Tidak hanya memikirkan diri sendiri saja

Saudara kedua, seorang abang yang baik hatinya
Waktu kami kecil, diceritakannya hal-hal yang membuat tertawa
Ia juga mengajari kami menjahit dan cara mengupas buah kelapa
Ia sekolah di desa tetangga
Hingga ia bekerja ke Negeri Sakura
Dikiriminya kami kotak pensil bergambar girl band negeri sana dan juga boneka-boneka
Atau foto-fotonya saat berada di Gunung Fujiyama
Duh, kapan ya aku bisa ke sana?

Saudara ketiga, seorang abang yang gagah perawakannya
Diajarinya kami berenang walaupun tidak bisa-bisa
Ia juga pandai mengolah mainan apa saja
Dari sebatang kayu jadilah senjata atau gasing yang bagus rupa
Ia juga bekerja ke Negeri Sakura
Walaupun beberapa tahun di sana, tak jua putih kulitnya
Hahaha...

Saudara ke empat, seorang kakak perempuan yang cantik parasnya
Temanku berjualan kue keliling-keliling desa
Juga teman kelayapan bermain hingga mencari jamur di bawah rumah tetangga
Suatu ketika aku pulang ke rumah dengan bercucuran air mata
Saat di tempat sekolah mengaji aku dijahilinya
Walaupun begitu, ia tetap baik hatinya
Saat ia bekerja di Jepang, dikiriminya aku bunga Sakura
Walau hanya sekadar foto saja
Hahaha...

Terakhir, si bungsu yang merdu suaranya
Tak jarang aku berkelahi dengannya
Waktunya istirahat, eh... ia malah bernyanyi saja
Sebab saat itu ia bercita-cita ingin menjadi penyanyi dan penari ternama
Lama kelamaan niat itu diurungkannya
Ia tahu bagaimana muslimah semestinya
Ia bilang, ingin jadi hafidzah saja
Semoga tercapai keinginannya

Inilah kami berenam saudara
Terima kasih sudah membantu dan saling menjaga
Semoga kami dapat rukun senantiasa
Terus memberikan manfaat kepada sesama
Dan bisa memenuhi keinginan orangtua
Agar berguna bagi nusa, bangsa, dan agama


(Tumbang Samba, Mei 2017)